Study Kasus Pajak : Kecurangan dalam Perpajakan
Dalam kasus ini, penulis akan berbagi sedikit kisah wajib pajak yang di kenakan PPh Terhutang oleh fiskus pajak karena terindikasi adanya kecurangan dalam perpajakan.
Silahkan rekan-rekan baca dengan teliti ya, karena cerita ini sangat bermanfaat untuk rekan-rekan di era serba terbuka sekarang ini.
Maksud dari era terbuka, sebenarnya boleh dikatakan banyaknya data dan dokumen wajib pajak yang bisa di akses oleh dirjen pajak.
Di awal tahun 2021 rekening tabungan wajib pajak telah secara bertahap bisa di akses dirjen pajak, bukan hanya itu, sertipikat kepemilikan tanah, bukti kepemilikaan kendaraan bermotor (BPKB), serta akte pendirian usahapun sekarang sudah terkoneksi dengan database perpajakan.
Maka dari itu, ruang lingkup bagi wajib pajak untuk melakuan trik kecurangan dalam perpajakan akan semakin sulit.
Di tahun 2021 ini, banyak wajib pajak yang mendapatkan SP2DK dari kantor pelayanan pajak (KPP), di karenakan adanya dokumen-dokumen bukti kepemilikan harta wajib pajak yang di temukan fiskus pajak belum terlapor di SPT tahunan.
Sehingga masih banyak wajib pajak yang terindikasi melakukan kecurangan dalam perpajakan, yang menyebabkan kerugian negara yang cukup signifikan.
Seperti halnya dalam kesempatan ini, penulis menerbitkan sebuah artikel yang berjudul study kasus pajak “Kecurangan dalam Perpajakan”.
Dimana judul artikel ini, penulis angkat dari kasus salah satu wajib pajak yang terindikasi melakukan kecurangan dalam perpajakan.
Contoh Kasus kecurangan dalam perpajakan
Untuk lebih simplenya penulis akan mengilustrasikan wajib pajak yang terindikasi melakukan kecurangan dalam perpajakan dengan contoh di bawah ini:
Tn A merupakan wajib pajak mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP). berstatus menikah dan mempunyai 2 orang anak (K/2).
Pada Tahun 2018 Tn A menyampaikan atau melaporkan SPT Tahunan ke dirjen pajak dengan data sebagai berikut;
- Penghasilan Neto wajib pajak tahun 2018 sebesar Rp250.000.000
- Penambahan harta yang di laporkan berupa Tabungan sebesar Rp50.000.000, tanah dan bangunan sebesar Rp150.000.000
Dari data tersebut setelah di lakukan perhitungan pajak penghasilan (PPh Pasal 21) yang harus di bayar Tn A adalah sebesar Rp22.375.000
Adapun perhitungan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 21) terhutang wajib pajak tersebut dapat rekan-rekan lihat di bawah ini.
PTKP PPh Pasal 21
Berdasarkan Peraturan Mentri Keuangan No. 101/PMK.010/2016, Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) jika penghasilan wajib pajak orang pribadi adalah sebagai berikut :
- Rp54.000.000 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi.
- Rp4.500.000 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin
- Rp4.500.000 tambahan untuk setiap tanggungan satu tahun pajak paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.
KODE | PTKP | KETERANGAN |
TK/0 | 54.000.000 | TIDAK KAWIN, ANAK 0 |
TK/1 | 58.500.000 | TIDAK KAWIN, ANAK 1 |
TK/2 | 63.000.000 | TIDAK KAWIN, ANAK 2 |
TK/3 | 67.500.000 | TIDAK KAWIN, ANAK 3 |
K/0 | 58.500.000 | KAWIN, ANAK 0 |
K/1 | 63.000.000 | KAWIN, ANAK 1 |
K/2 | 67.500.000 | KAWIN, ANAK 2 |
K/3 | 72.000.000 | KAWIN, ANAK 3 |
Pebghasilan Kena Pajak (PKP)
Rumus : Penghasilan Neto – Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) = PKP
Rp250.000.000 – Rp67.500.000 = Rp182.500.000
Tarif PPh Pasal 21 Berdasarkan Pasal 17 Ayat 1
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 | Besaran Tarif PPh 21 |
PKP Rp.0 s.d Rp50.000.000 | 5% |
PKP diatas Rp50.000.000 s.d Rp250.000.000 | 15% |
PKP diatas Rp250.000.000 s.d Rp500.000.000 | 25% |
PKP diatas Rp500.000.000 | 30% |
PPh Pasal 21 Terhutang
Rumus : PKP x Pasal 17 ayat 1
Rp50.000.000 x 5,0% = Rp2.500.000
Rp132.500.000 x 15% = Rp19.875.000
Rp2.500.000 + Rp19.875.000 = Rp22.375.000
Dari dasar perhitungan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 tersebut Tn A melaporkan SPT tahunan dengan status kurang bayar sebesar Rp22.375.000.
Sebenarnya dalam tahun 2018 Tn A memperoleh penghasilan yang bersifat fee atau komisi dari salah satu perusahaan sebesar Rp750.000.000,
Dalam penghasilan tersebut Tn A, telah melakukan negosiasi dengan pihak perusahaan sebagai pemberi kerja. agar penghasilan fee tersebut tidak harus di kenakan pajak penghasilan serta tidak perlu di laporkan di dalam perpajakan.
Karena perusahaan mendapatkan keuntungan yang cukup besar dari jasa atau pekerjaan yang di lakukan Tn A. Sehingga perusahaan tersebut mengikuti dan menyetujui negosiasi dari Tn A untuk tidak memotong dan melaporkan pajak penghasilan yang di terima oleh Tn A.
Dari penghasilan tersebut Tn A melakukan join usaha dengan beberapa pembisnis dalam bentuk saham.
Di mana Tn A menyetorkan saham atas kepemilikan dirinya sendiri yang telah di terbitkan di dalam Akte Notaris pendirian suatu badan usaha sebesar Rp500.000.000.
Dan sisa dari penghasilan fee tersebut sebesar Rp250.000.000, Tn A masukan kedalam satu rekening bank.
Pada Tahun 2021, Tn A mendapatkan surat panggilan pemeriksaan dari dirjen pajak untuk permintaan keterangan dan bukti pendukung atas SPT Tahun 2018 yang telah di laporkan.
Setelah fiskus pajak melakukan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Terdapat beberapa temuan dari hasil pemeriksaan, antara lain :
- Ada penambahan harta pada tahun pajak 2018 yang tidak di laporkan wajib pajak di dalam SPT Tahunan, berupa kepemilikan saham atas nama Tn A Sebesar Rp500.000.000
- Adanya temuan pemasukan ke rekening wajib pajak di tahun 2018 sebesar Rp250.000.000, yang tidak di laporkan Tn A di SPT Tahun Pajak 2018.
Perhitungan PPh Kurang Bayar
Dari data temuan fiskus pemeriksaan pajak tersebut, adanya kewajiban dan bunga pajak atas pajak penghasilan terhutang yang masih harus di bayar oleh Tn A, dengan rincian sebagai berikut;
- Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dengan tarif yang di kenakan berdasarkan Pasal 17 ayat 1 secara progresif.
- Sanksi bunga atas PPh Pasal 21 Kurang bayar, sebesar 48% dari PPh Pasal 21 kurang bayar.
Rumus : Penghasil Neto SPT 2018 + Penghasilan Temuan Fiskus=PKP
PKP : Rp250.000.000 + Rp750.000.000 = Rp1.000.000.000
PPh Pasal 21 Terhutang
Rumus | : | Penghasilan Neto | – | PTKP | = | PKP |
PKP | : | Rp1.000.000.000 | – | Rp67.500.000 | = | Rp932.500.000 |
Rumus | : | PKP | X | Tarif 17 Ayat 1 | = | PPh Terhutang |
PPh Terhutang | : | Rp50.000.000 | x | 5,0% | = | Rp2.500.000 |
: | Rp200.000.000 | x | 15,0% | = | Rp30.000.000 | |
: | Rp250.000.000 | x | 25,0% | = | Rp62.500.000 | |
: | Rp432.500.000 | x | 30,0% | = | Rp129.750.000 | |
Jumlah PPh Pasal 21 Terhutang | = | Rp224.750.000 | ||||
PPh Kurang Bayar | : | Rp224.750.000 | – | Rp22.375.000 | = | Rp202.375.000 |
Sanksi Bunga | : | Rp202.375.000 | x | 48% | = | Rp97.140.000 |
Jumlah SKP | : | Rp202.375.000 | + | Rp97.140.000 | = | Rp299.515.000 |
Kesimpulan
- Dari kasus di atas, atas kecurangan wajib pajak dalam melaporkan SPT Tahun 2018, di kenakan kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang kurang bayar sebesar Rp202.375.000, dan
- Sanksi bunga keeterlambatan pembayaran 2% perbulan atau maksimal di hitung sebanyak-banyaknya 24 bulan di kalikan dengan Pajak penghasilan kurang bayar sebesar Rp97.140.000
Untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan, seperti sanksi dan denda di dalam tindak pidana perpajakan, sebagai wajib pajak, patuhilah ketentuan-ketentuan di dalam perpajakan, supaya tidak di kenakan pajak yang berlipat ganda, atas kelalaian kita sendiri.
Semoga bermanfaat, dan apa bila ada pertanyaan , ide dan saran yang membangun silahkan tuliskan di kolom komentar.
Baca Juga : Jenis dan Tarif Pajak yang berlaku di Indonesia
Agar tidak ketinggalan informasi Pajak dari penulis silahkan langsung donwload Aplikasi pajak khusus untuk smartphone android di link ini : Belajar Pajak.Apk